BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Sejarah
perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sudah ada sejak lama.
Indonesia adalah negara berdasarkan hukum, hal ini dapat kita lihat dengan
tegas di dalam penjelasan UUD NRI tahun 1945. Dalam negara hukum mengandung
pengertian setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum,
tidak ada satu pun yang mempunyai kekebalan dan keistimewaan terhadap hukum.
Salah
satu tujuan hukum adalah untuk menciptakan keadilan di tengah-tengah pergaulan
masyarakat, sedangkan keadilan adalah salah satu refleksi dari pelaksanaan hak
asasi manusia dan hukum adalah keterkaitan yang erat, karena dalam pelaksanaan
hak asasi manusia. Keterkaitan antara hak asasi manusia dan hukum adalah
keterkaitan yang erat, karena dalam pelaksanaan hak asasi manusia adalah masuk
ke dalam persoalan hukum dan harus diatur melalui ketentuan hukum.
Peran
Indonesia dalam perjuangan hak asasi internasional sejalan dengan tekad bangsa
Inodnesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945 untuk ikut
melaksanakan ketertiban dunia, Indonesia telah aktif dalam usaha menegakkan
penghormatan hak-hak asasi manusia di forum internasional sesuai dengan
prinsip-prinsip PBB.
Salah satu peran aktif di Indonesia yang
penting, setelah diterimanya Universal
Declaration of Human Rights oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB
tahun 1948, adalah diselengarakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung pada
tahun 1955 yang menghasilkan Deklarasi Bandung yang memuat pernyataan sikap
negara-negara peserta bertekad untuk menjunjung tinggi:
- Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip Piagam PBB.
- Penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial semua Negara .
- Pengakuan atas persamaan derajat semua ras dan semua bangsa besar dan kecil.
- Tidak akan melakukan intervensi dan mempengaruhi urusan dalam negara lain.
- Penghormatan atas hak setiap bangsa untuk mempertahankan dirinya baik secara sendiri-sendiri maupun kolektif sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam PBB.
- Menghindarkan diri dari penggunaan cara pertahanan kolektif untuk kepentingan tertentu dari sikap kekuatan besar dan menghindarkan diri dari tindak melakukan tekanan terhadap negara lain.
- Menahan diri dari tindakan-tindakan atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik setiap Negara.
- Menyelesaikan segala sengketa internasional dengan cara damai seperti negoisasi, konsiliasi, arbitrase atau pengadilan serta cara-cara lain yang dipilih oleh para pihak sesuai dengan ketentuam Piagam PBB.
- Menjunjung tinggi kepentingan timbal balik dan kerjasama internasional.
- Menghormati prinsip keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.
Rifdan et al
(2006), menyatakan:
Ketika UUD 1945 berlaku kembali
sejak tanggal 5 juli 1959, secara yuridis formal, hak-hak asasi manusia tidak
lagi lengkap seperti deklarasi HAM PBB, kerena terdapat didalam UUD 1945 hanya
berupa pasal saja, khususnya pasal 27, 28, 29, 30, dan 31. Pada masa orde baru
salah satu tujuan pemerintah adalah berusaha untuk melengkapinya, tugas utama
melengkapi HAM ditengani oleh sebuah panitia MPRS yang kemudian menyususun
rencana piagam hak-hak asasi manusia serta hak-hak dan kewajiban warganegara
yang dibahas dalam sidang MPRS tahun 1968. Dalam pembahasan ini siding MPRS
menemui jalan buntu, sehingga akhirnya dihentikan. Begitu pula setelah
dibentuknya MPR hasil pemilihan umum 1971 persoalan HAM tidak lagi diagendakan,
bahkan diperieskan sampai tumbangnya orde baru tahun 1998 yang berganti dengan
era reformasi itu pula diselenggarakan sidang istimewa MPR tahun 1998 yang
salah satu ketetapan berisi piagam HAM.[1]
Sedangkan menurut Kuntjara Purbopranoto Jaminan hak asasi
manusia dalam UUD 1945 (sebelum perubahan/amandemen) belum disusun secara
sistematis dan hanya empat pasal yang memuat ketentuan-ketentuan tentang hak
asasi, yakni pasal 27, 28, 29 dan 31. Meskipun demikian bukan berarti HAM
kurang mendapat perhatian, karena susunan pertama UUD 1945 adalah merupakan
inti-inti dasar kenegaraan.[2]
Bagi bangsa Indonesia pelaksanaan HAM telah tercermin di
dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dan batang tubuhnya yang menjadi hukum dasar
tertulis dan acuan untuk setiap peraturan hukum yang di Indonesia.
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945 telah digali
dari akar budaya bangsa yang hidup jauh sebelum lahirnya Deklarasi HAM
Internasional (The Universal Declaration
of Human Rights 1948).
Dalam konteks Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat dililihat
bahwa bersirinya Negara Republik Indonesia adalah hasil perjuangan untuk
menegakkan HAM Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Pembukaan UUD NRI
tahun 1945 dengan jelas mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk menjunjung
tinggi HAM dari penindasan penjajah “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.[3]
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar yang disebut HAM yang melekat
pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak tersebut
tidak dapat diingkari. Dilihat dari pilihan yang telah ditetapkan bersama
terutama dari Bapak Pendiri Bangsa (The Founding Father) yang bercita-cita
terbentuknya negara hukum yang demokratik, maka jiwa atau roh negara hukum
demokratik tersebut ada sejauh mana hak asasi itu dijalani dan dihormati.
Apabila dilihat UUD sebelum diamandemen, hak asasi tidak tercantum dalam suatu
piagam yang terpisah melainkan tersebar dalam beberapa pasal. Jumlahnya
terbatas dan diumumkan secara singkat. Karena situasi yang mendesak pada
pendudukan Jepang tidak ada waktu untuk membicarakan HAM lebih dalam. Lagipula,
waktu UUD 1945 dibuat Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB belum lahir, HAM diatur di
Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam Batang Tubuh yaitu pasal 26,
pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 33, dan pasal 34.
Dari
kajian pasal-pasal tersebut dikemukakan:
- HAM itu meliputi baik yang bersifat klasik maupun yang bersifat sosial. HAM/ warganegara yang bersifat klasik terdapat dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28, pasal 29 ayat (2). Yang bersifat sosial dirumuskan dalam pasal 27 ayat (2), pasal 31 ayat (1) dan pasal 24. Sedangkan rumusan dalam pasal 30 tidak termasuk dalam HAM yang klasik maupun yang sosial. Dengan demikian HAM yang timbul karena hukum (legal rights).
- HAM yang berkenaan dengan semua orang yang berkedudukan sebagai penduduk tidak dirumuskan dengan hak melainkan dengan kemerdekaan. Contohnya: bunyi pasal 28 dan pasal 29 ayat (2).
- HAM yang berkenaan dengan warga negara Indonesia dengan tegas dikatakan “tidak”. Hal ini dapat dibaca dalam pasal 27 ayat (2), pasal 30 ayat (1) dan pasal 31 ayat (1).
- Sebagian besar rakyat masih dalam keadaan serba kurang (pendidikan dan kebutuhan hidup).
- Belum/ tidak adanya hukum atau peraturan positif aplikasi dalam kehidupan bernegara.
HAM di Indonesia sebagai pemikiran paradigma tidaklah lahir
bersamaan dengan Deklarasi HAM PBB 1948. Bahwa HAM bagi bangsa Indonesia bukan barang
asing terbukti dengan terjadinya perdebatan yang terjadi dalam sidang BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sidang periode
pertama BPUPKI terbagai dua yaitu, pertama berlangsung dari tanggal 19 Mei 1945
hingga 1 Juni 1945. Sidang periode kedua diselenggarakan pada tanggal 10 sampai
16 Juli 1945. Sidang I BPUPKI mendengar pidato Soekarno, Muhammad Yamin,
Soepomo, Muhammad Hatta terlihat perbedaan pandangan mereka mengenai
konsep-konsep “kebebasan” seperti di
negara Barat.
Di lain pihak, Muhammad Hatta khawatir jika jaminan
kebebasan tidak dicantumkan dalam UUD, hak-hak masyarakat tidak akan ada
artinya dihadapan negara. Kemudian masih pada masa sidang II, terjadi
perdebatan langsung antara para tokoh tersebut. Dalam rancangan undang-undang
dasar yang sedang dibahas pada waktu itu Muhammad Hatta tidak menemukan pasal
tentang HAM dan kebebasan, karena itu beliau angkat bicara,” Saya menginginkan
pasal-pasal yang mengakui HAM”.
Namun Soepomo menapik Muhammad Hatta, pasal-pasal tersebut
tidak perlu ada karena hanya akan memberikan peluang kepada paham
individualisme, perseorangan, padahal kita ingin kekeluargaan, katanya. Dalam
perdebatan ini, Soepomo didukung oleh Soekarno sedangkan Muhammad Hatta
didukung oleh Muhammad Yamin.
Akhirnya para pendiri Republik Indonesia dengan jiwa besar
setuju untuk kompromi. Maka lahirlah pasal 27, pasal 28 dan pasal 29 UUD NRI
tahun 1945. Proses perumusan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa sejak awal
pendekatan musyawarah mufakat sudah muncul sebagai fakta-fakta sejarah yang
menyangkut proses penyusunan pasal 28 UUD NRI tahun 1945 diungkapkan oleh
Muhammad Yamin.
Di
Indonesia HAM telah mendapat tempat dan diatur di dalam:
- UUD NRI tahun 1945.
- Tap MPR No XVII/MPR/1998 tentang HAM.
- Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM.
- Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
- Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
- Konvensi Internasional Anti Apartheid dalam Olahraga yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1993 tanggal 26 Mei 1993.
- Konvensi tentang Hak-Hak Anak tahun 19998 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990.
- Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1979 yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tanggal 24 Juli 1984.
- Konvensi tentang Hak-Hak Politik Kaum Wanita tahun 1953 yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 68 tahun 1998.
- Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam secara Tidak Manusiawi dalam Merendahkan Martabat Manusia Lainnya tahun 1984 yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 5 tanggal 24 September 1998.
- Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 29 tanggal 25 Mei 1999.
B.
Kasus
Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Era
Reformasi
Pada peristiwa Mei 1998, seluruh
Indonesia membuka rezim baru. Reformasi lahir. Hal itu ditandai dengan
mundurnya Presiden Soeharto setelah berkuasa hampir 32 tahun. Era reformasi
tidak muncul dengan sendirinya, tapi melalui perjuangan panjang.
Ada harga yang mahal dan harus dibayar
untuk sebuah tekad reformasi. Menurut data yang ada, dari beberapa lokasi
kejadian di Jakarta, tanggal 13-15 Mei 1998 mengakibatkan 293 orang meninggal
dunia, 1.334 bangunan, 1.009 kendaraan roda empat dan 205 kendaraan roda dua
rusak dibakar. Di Solo, pada 14-15 Mei 1998 mengakibatkan 19 orang meninggal
dunia, 694 bangunan dan 324 kendaraan bermotor rusak dibakar. Kemudian di
Palembang, tanggal 13-15 Mei 1998 mengakibatkan 1.232 bangunan dan 49 kendaraan
bermotor rusak dibakar.
Namun, harga mahal itu tidak dibarengi
dengan menjadikan reformasi sebagai pertaruhan masa depan bangsa Indonesia.
Salah satunya, tidak adanya keseriusan pemerintah dalam mengungkap dugaan
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi ketika proses lahirnya
reformasi. Bahkan di usia 15 tahun
reformasi, penegakan hukum atas pelanggaran HAM belum ada yang berhasil
dilakukan. Kenyataan ini semakin melegalkan jika menegakkan hukum terhadap
pelanggaran HAM seperti jalan panjang dan berliku dalam mencari kebenaran dan
keadilan. Padahal, menegakkan hukum atas pelanggaran HAM juga sama pentingnya
dengan memerangi dan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ironis, 15 tahun usia reformasi ternyata
masih tercatat sejarah kekerasan dan belum ada penyelesaiannya. Tentu ini akan
tetap mengapung selama Kejaksaan Agung dan Komnas HAM belum mampu menyelesaikan
persoalan dugaan pelanggaran HAM. Bahkan, hasil penyelidikan yang dilaporkan
Komnas HAM terkait pelanggaran 1965/ 1966 ke Kejaksaan Agung dan dikembalikan
kejaksaan agar dilengkapi sesuai petunjuk tidak jelas keberadaannya.
Peristiwa pelanggaran HAM berat atas
perkara Trisakti pada 12 Mei 1998 bertempat di Universitas Trisakti yang
menyebabkan empat mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan 517 orang luka-luka,
Semanggi I pada 13-14 November 1998 bertempat di Jembatan Semanggi Jakarta yang
mengakibatkan sejumlah masyarakat meninggal dunia dan luka-luka, serta Semanggi
II pada 23-24 September 1999 bertempat di Jembatan Semanggi Jakarta yang
mengakibatkan sejumlah masyarakat meninggal dunia dan luka-luka dalam
perkembangan penanganan perkaranya sejak 2002, terjadi pengembalian berkas
perkara hingga tujuh kali antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung.
Konfilik agraria juga terjadi diera
reformasi ini dengan alasan pembangunan pertumbuhan ekonomi maka pemerintah
membuat produk berupa peraturan perundang-undangan yang melindungi kepentingan
kapitalis. Noer Fauzi (1997) menyatakan Pengambilan tanah-tanah rakyat
dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggusuran dengan menggunakan kekerasan, penaklukan dan manipulasi
ideologis dan cara-cara melanggar hak asasi manusia.[4]
Sebagian
besar kasus pelanggaran terhadap hak asasi manusia merupakan kasus yang pelik
karena biasanya menyangkut banyak orang dan melibatkan kepentingan politik
tertentu. Meski demikian, banyak upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak
yang peduli dan memiliki tanggung jawab terhadap pentingnya perlindungan hak
asasi manusia di Indonesia. Pemerintah, lembaga peradilan, lembaga swadaya
masyarakat, lembaga pendidikan dan para pendidik, media massa, serta masyarakat
luas memiliki peran penting dalam upaya penegakan dan perlindungan terhadap
HAM. Melalui peran merekalah berbagai kasus pelanggaran HAM dapat diungkapkan
dan disidangkan di pengadilan HAM.[5]
Tragedi Trisakti adalah peristiwa
penembakan, pada tanggal 12
Mei
1998,
terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi
menuntut Soeharto
turun dari jabatannya. Kejadian ini
menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti
di Jakarta,
Indonesia
serta puluhan lainnya luka.[6]
Mereka
yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana
(1978
- 1998),
Heri Hertanto
(1977
- 1998),
Hafidin Royan
(1976
- 1998),
dan Hendriawan Sie
(1975
- 1998).
Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat
vital seperti kepala,
tenggorokan,
dan dada.
Ekonomi Indonesia
mulai goyah pada awal 1998,
yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia
sepanjang 1997-1999.
Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung
DPR/ MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka
melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung
Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh
blokade dari Polri
dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan
pihak Polri.
Akhirnya,
pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa.
Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian
besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan
penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke Rumah Sakit Sumber Waras.
Satuan
pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade
Mobil Kepolisian RI, Batalyon
Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203,
Artileri Pertahanan Udara Kostrad,
Batalyon Infanteri 202,
Pasukan Anti
Huru Hara Kodam
seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan
tameng, gas air mata, Styer,
dan SS-1.
Pada
pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang
dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah
menggunakan peluru tajam, hasil otopsi
menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru
tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua
kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda
Sidang Istimewa
yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13
November 1998,
masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan
tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24
September 1999
yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di
seluruh Jakarta
serta menyebabkan 217 korban luka-luka.[7]
Pada
bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa
untuk menentukan Pemilu
berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan.
Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B.
J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/
MPR
Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde
Baru.
Masyarakat
dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi
ABRI/
TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan
mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa
ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia
dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas
di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk
mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat
perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di
bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Pada
24
September 1999,
untuk yang kesakian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi
mahasiswa. Kalau itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk
mengeluarkan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang
materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer
untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah
mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang
diberlakukannya UU PKB. Mahasiswa dari Universitas Indonesia,
Yun
Hap
meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.[8]
3.
Peristiwa
Bangaqiyah 1999
Peristiwa
Bangaqiyah adalah salah satu tragedi kemanusian di Aceh yang menjadi sangat
penting karena terjadi di saat pemerintah berjanji untuk menyelesaikan masalah
pelanggaran HAM dan menghentikan kekerasan terhadap rakyat sipil Aceh. Selain
kekejaman yang terjadi pada kasus ini menjadi begitu terbuka, seakan menjadi
tambahan bahan bakar baru bagi upaya memisahkan diri dari Indonesia . [9]
Saat ini
Kontras menerima keluarga Tengku Bantaqiyah yang datang ke Jakarta untuk
menghadap Presiden, Panglima TNI, Menteri Agama, Meneg HAM, Jaksa Agung dan
Komnas HAM. Maksud keluarga korban untuk menghadap pihak-pihak tersebut adalah
menyampaikan apa yang mereka alami sekarang ini.
Sampai saat
ini keluarga korban dan para santri terlantar karena hancurnya sebagian
fasilitas pesantren. Sementara itu trauma dan rasa takut akan ancaman kekerasan
fisik masih mereka rasakan. Kontras, sebagai kuasa hukum dari keluarga korban,
menyatakan agar pemerintah dapat segera merepon tuntutan dari keluarga korban
sebagai wujud dari penghargaan terhadap Hak Azasi Manusia. Sesusai dengan yang
dilaporkan kepada Kontras, keluarga korban menuntut kepada pemerintah untuk:
a). Melaksanakan
pengadilan yang jujur dan transparan terhadap para pelaku pelanggaran HAM pada
kasus Bantaqiyah dan kasus-kasus lainya.
b). Memberikan
santunan yang layak kepada keluarga korban terutama para janda dan anak-anak.
c). Memberikan
jaminan keamanan kepada keluarga korban para santri untuk dapat melakukan
kembali kegiatan keagamaan di pesantren tersebut.
Beberapa rekomendasi ini memang
tidak serta merta menyelesaikan krisis di Aceh. Namun tetap harus dipandang
sebagai salah satu proses pengobatan dari luka-luka yang diderita oleh
masyarakat Aceh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia
(HAM) di Indonesia sudah ada sejak lama. HAM di Indonesia sebagai pemikiran
paradigma tidaklah lahir bersamaan dengan Deklarasi HAM PBB 1948. Bahwa HAM
bagi bangsa Indonesia bukan barang asing terbukti dengan terjadinya perdebatan
yang terjadi dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia).
2. Kasus
pelanggararan hak asasi manusia di era reformasi dimulai pada peristiwa Mei
1998, ketika itu seluruh mahasiswa dan masyarakat Indonesia membuka rezim baru
sehingga lahirlah Reformasi. Ada harga yang mahal dan harus dibayar untuk
sebuah tekad reformasi. Namun, harga mahal itu tidak dibarengi dengan
menjadikan reformasi sebagai pertaruhan masa depan bangsa Indonesia. Salah
satunya, tidak adanya keseriusan pemerintah dalam mengungkap dugaan pelanggaran
hak asasi manusia yang terjadi ketika proses lahirnya reformasi. Adapun
beberapa pelanggaran terhadap hak asasi manusia diera reformasi yaitu:
1. Tragedi
Trisakti 1998.
2. Tragedi
Simangi I 1998 dan Simangi II
1999.
3. Peristiwa
Bangaqiyah 1999.
B. Kritik dan Saran
Dalam penyusunan dan pengkajian judul makalah yang membahas
tentang: Beberapa
Kasus Pelanggaran HAM di Era Reformasi, Penulis sangat
menyadari dengan sepenuh hati bahwasanya terdapat banyak kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang terdapat didalam makalah
sederhana ini. Tetapi Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk
mengkrucutkan sedemikian rupa pembahasan ini sesuai dengan pembatasan aspeknya. Maka dari
itu Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan
keterbatasan, dan Penulis sangat
mengharapkan atas kritik dan Saran dari para pembaca sekalian yang
budiman agar kedepan Penulis bisa lebih menyempurnakanya lagi dan lebih baik
lagi dalam menciptakan sebuah karya.
Akhir kata Penulis ucapkan selamat berkreasi, berinovasi dan
Mencipta sejarah kehidupan.
Wabillahi Taufiq Walhidayah,
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
DAFTAR PUSTAKA
A.T Sugeng
Priyanto et al. 2008. Contextual
Teaching and Learning Pendidikan Kewarganegaraan: Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah Kelas VII Edisi 4. Jakarta: Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional.
Binsar Gultom.
2009. Problematik dan Solusi Penanganan
Kasus Pelanggaran Ham Berat. Makalah yang disajikan
pada acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema : “Hak Memperoleh Keadilan
dalam Perkara Pidana ditinjau dari Perspektif HAM” oleh Komnas HAM di Hotel
Swiss Belhotel Medan tanggal 28 Maret 2009.
Kontras. Peristiwa Bangaqiyah. 2000.
Akses Tanggal 2 September 2013. http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=145.
Majelis Permusyawaratan Rakyat R.I.
(Tanpa Tahun). Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Pustaka Santoso Jaya.
Noer Fauzi et al. 1997. Tanah dan
Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Presiden Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang R.I No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Jakarta. Pasal 1 angka (1).
Rifdan
et al. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Makassar: (Tanpa Penerbit).
Wahyu Nugroho. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan 1. Untuk VII SMP/
MTS. Jakarta: Pusat Perbukuan Kementrian Pendidikan Nasional.
Wikipedia. 2013. Tragedi Trisakti. Akses Tanggal 2 September 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti.
Wikipedia. 2013. Tragedi Semanggi. Akses Tanggal 2 September 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi.
[1]
Rifdan et al. 2006.
Pendidikan Kewarganegaraan. Makassar:
(Tanpa Penerbit). hlm 17.
[2]A.T Sugeng Priyanto et al. 2008. Contextual
Teaching and Learning Pendidikan Kewarganegaraan: Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah Kelas VII Edisi 4. Jakarta: Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 76.
[3]
Majelis Permusyawaratan
Rakyat R.I. (Tanpa Tahun). Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Pustaka Santoso Jaya. hlm.
2.
[4]
Noer Fauzi et al. 1997. Tanah dan Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 9.
[5] Wahyu Nugroho. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan 1. Untuk VII SMP/
MTS. Jakarta: Pusat Perbukuan Kementrian Pendidikan Nasional. hlm 77.
[6]Wikipedia. 2013. Tragedi Trisakti. Akses Tanggal 2 September
2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti.
[7]Wikipedia. 2013.
Tragedi Semanggi. Akses Tanggal 2
September 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi.
[8]
Wikipedia. Loc. Cit.
[9]Kontras. Peristiwa Bangaqiyah. 2000.
Akses Tanggal 2 September 2013. http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=145.
Komentar
Posting Komentar